Tuesday, August 21, 2012


Potensi Revolusioner dalam Dinamika Politik Rezim SBY: Berkaca dari Timur-Tengah
Oleh Roy Erickson Mamengko

Roy Erickson Mamengko

 I
Memenuhi permintaan  “Forum Intelektual Kristen Indonesia (FIKI) Jakarta, untuk menjadi salah seorang Pembicara dalam Diskusi bertema: “Potensi Revolusioner dalam Dinamika Politik Indonesia Kontemporer: Berkaca dari Timur-Tengah, yang digelar hari ini, bagi saya, bukanlah pekerjaan sederhana. Sebab, tema yang disodorkan ini, dari perspektif “akademik” memerlukan penggarapan dan pendalaman, juga waktu, guna mengurai makna yang sesuai dengan isi thema. Ini dimaksudkan, supaya paparan dan predisksi atasnya mendekati realitas yang teramati. Sekaligus menyempitkan potensi berbantahan pada sesi diskusi.

Itulah yang menjadi pertimbangan saya, sehingga topik ini saya putuskan untuk didekati dari perspektif teoritik. Kemudian mengaitkannya dengan realitas sosial politik Indonesia kontemporer yang teramati. Judul yang disodorkan kepada saya mengalami sedikit perubahan. Saya memangkas judulnya supaya isi yang dibicarakan terforkus dan tidak historik.
II
Masyarakat, pasti akan mengalami perubahan. Inilah kepastian hukum dalam kehidupan manusia. Hanya tempo, intensitas dan besaran (magnitude) perubahan pada setiap masyarakat dalam sebuah negara itu yang bebeda-beda. Ada masyarakat yang mengalami perubahan secara perlahan-lahan, ada pula yang tidak. Sebaliknya, ada perubahan yang berlangsung dalam waktu yang  sangat singkat, karena basis-basis kehidupan sosial dan politik masyarakatnya dilakukan dengan cara yang radikal. Yakni, menjungkir balikkan seluruh tatanan sosial dan politik yang dipunyai, kemudian menggantikannya dengan tatanan yang sama sekali baru”.

Disamping itu, ada perubahan yang terjadi secara lambat. Yakni, perubahan evolusioner. Dimana, agen perubahan (agent of change) melakukannya dengan cara bertahap atau gradual.

Ada juga perubahan radikal-revolusioner[1]. Dimana, akar-akar tatanan lama masyarakat dihancurkan melalui konflik yang keras dan terbuka. Masalah ini telah banyak diteliti. Walaupun di antara para peneliti itu, ada yang sekedar mendeskripsikan kejadian perubahan tertentu. Ada yang melakukan eksplanasi atas keruwetan persoalan, sampai pada yang menelusuri sebab-akibat (kausalitas) atas duduk persoalan dengan menggunakan pendekatan teoritik tertentu untuk tujuan akomodasi maupun praksis.

Singkat kata, dalam kesempatan ini, saya ingin fokus pada perubahan sosial yang Revolusioner dan akibat-akibatnya dengan memanfaatkan medium teoritik.

III
Dalam pandangan saya, Revolusi sosial yamg sekarang ini merebak di kawasan (Timur-Tengah), dimana pengaruhnya tampak mulai menghantui beberapa negara yang menerapkan sistem politik ketat dan terpusat, dinamika politiknya cocok didekati dari perspektif struktural. Berfokus pada konteks sosial, politik dan ekonomi dalam negeri dan kaitannya dengan situasi Internasional yang memengaruhi aktor maupun organisasi-organisasi sosial rezim lama (seperti beberapa negara di Timur-Tengah sekarang) dan pembentukan negara demokrasi baru, seperti juga di Indonesia.

Pada umumnya, studi perubahan sosial, politik dan ekonomi, berfokus pada kondisi objektif yang terbentuk dari proses-proses sosial yang dis-asosiatif  dalam negeri yang menimbulkan krisis revolusioner. Dengan tidak mengabaikan konteks internasional, sebagai faktor pemberi pengaruh. Konteks internasional “dapat dianggap”  turut memberi pengaruh atas timbulnya semua krisis sosial-revolusioner dengan segala akibat yang mengikutinya. Semua faktor penyebab timbulnya sebuah revolusi, baik yang bersifat sosial maupun politik, dalam kenyataannya, selalu terkait erat dengan penyebaran ekonomi kapitalis internasional yang tidak “berimbang” dan pembentukan negara-negara berskala dunia.

Dalam konteks pembagian kerja internasional yang timpang, revolusi sosial cenderung terjadi di negara-negara yang posisinya dalam arena internasional dipandang “lemah”. Ketergantungan politik, juga ikut serta membantu melemahkan otoritas politik dan pengawasan dalam negeri. Kondisi negara yang seperti ini, menjadi sangat rentan dari konflik dan pengendalian terhadap transformasi struktural yang dilakukan negara.

Theda Skocpol[2] dalam penelitiannya menunjukkan, bahwa terjadinya revolusi di Perancis (1787-1800), revolusi di Rusia pertengahan 1917 dan revolusi di Cina tahun 1911-1916, lebih disebabkan karena posisi ketiga negara tersebut lemah dalam menghadapi tekanan internasional.

Begitu pula cara ketiga negara itu mengelola dinamika sosial-politik internal negara mereka yang agraris. Pengelolaan negara dilakukan dengan cara yang sangat represif. Akibatnya, ketika masyarakat (mayoritas petani) tak sanggup lagi menerima tekanan dan eksploitasi negara, masyarakat bangkit melakukan perlawanan dan pemberontakan. Perlawanan kaum marginal dan yang termarginalkan acapkali dilakukan bersamaan dengan datangnya dukungan dan tekanan Internasional ke dalam negeri negara bersangkutan. Tekanan internasional ini dimaksudkan untuk membuka jalan bagi para elit politik marginal[3] supaya leluasa mendukung gerakan populis masyarakat perkotaan dan konsolidasi gerakan massa.

Untuk diketahui, perubahan di Inggris, Jerman, dan Jepang tidak melalui jalan revolusi sosial, tetapi melalui perubahan evolusioner yang bersifat restorasi. Mengapa?, karena ketiga negara tersebut, mampu mengeliminasi ancaman dan tekanan internasional. Juga, mampu meredam tidak terjadinya pemberontakan petani secara luas. Negara-negara ini tetap dominan mengendalikan bentuk perubahan bangsanya kearah yang lebih mulus.

Berbeda dengan kasus yang muncul di Perancis tahun 1787-1800. Rusia tahun 1917-1921. Dan, di Cina antara tahun 1911-1949. Revolusi di ketiga negara ini, muncul karena memudarnya kontrol negara atas hubungan-hubungan kelas[4] dalam masyarakat. Sedangkan reformasi di Inggris, Jerman, dan Jepang, dimungkinkan oleh karena kedudukan negara yang tetap stabil mengendalikan hubungan-hubungan kelas dalam masyarakat mereka.

IV
Beranjak dari pengalaman negara-negara tersebut, Indonesia kontemporer di bawah pemerintahan SBY, secara teoritik, dinilai masih terlilit dan sukar keluar dari beberapa persoalan kenegaraan warisan rezim sebelumnya.

Rezim SBY, tampak masih memanfaatkan sistem politik “monolitik” yang bertentangan dengan ciri heterogenitas negara. Heterogenitas diendapkan di bawah hasrat penyeragaman yang bertujuan “memusatkan kekuasaan” untuk memelihara satus quo pemerintah. Contoh dan indikator atas hal ini dapat ditelisik dalam beberapa kasus. Antara lain SKB tiga menteri, kasus Ahmadiayah, dan penetapan pansus pajak di DPR RI.

Dibidang penegakkan Hukum. Rezim SBY tampak masih memonopoli interpretasi atas hukum dan perundang-undangan yang berlaku. Sering didapati, penetapan hukuman yang berbeda atas kasus-kasus korupsi serupa berskala besar.

Begitu pula dibidang birokrasi pemerintahan. Sifat alamiah birokrasi yang otoriter yang mengeksploitasi konsep hubungan negara dan rakyat secara timpang, belum memudar. Malah dirasakan kian menguat. Terkesan, birokrasi lebih sigap melayani kebutuhan rezim politik dari pada melayani kebutuhan rakyat.

Klientalisme ekonomi melalui praktek kolusi antara pemerintah dan pihak pengusaha tampak menguat. Sumberdaya politik dan ekonomi rakyat tetap dikontrol oleh sekelompok orang yang dekat dengan penguasa.

Negara, sampai saat ini, terkesan masih menggunakan sarana otoriter yang eksesif dengan tujuan memunculkan ketakutan politik rakyat. Simbol-simbol “kebudayan”  dimanipulasi, agar supaya rakyat dari akar rumput memandang penguasalah yang paling arif, bersih dan sempurna. Tidak perlu dikontrol oleh kekuatan demokratis. Pemusatan kekuasaan yang dilakukan secara intensif dan eksesif, nyaris menjadikan peribadi penguasa identik dengan hukum.

Persoalan-persoalan tersebut, secara bertalian erat   satu dengan yang lainnya, dan memunculkan kekusutan persoalan kenegaraan seperti yang dirasakan saat ini.

V
Antisipasi supaya Indonesia kontemporer di bawah rezim SBY tidak terhalang menjalankan “tugas” perubahan secara bertahap (gradual), dan tidak menjadi pemicu munculnya “revolusi sosial” dari rakyat  aras “tengah” dan “bawah”, karena kehilangan harap (hope) untuk menggapai angan kesejahteraan, keadilan dan kemerdekaan mereka, maka perlu di tempuh jalan baru untuk perubahan.

Pertama, melakukan percepatan dalam penegakan hukum ( law enforcement). Selain menjamin hak warga negara ikut menentukan “warna” kehidupan sosial-politik yang baru, rezim SBY perlu memastikan, bahwa setiap warga negara mematuhi aturan yang berlaku. Aturan yang telah disepakati bersama. Supaya hak orang lain tidak terganggu oleh ekspresi penggunaan hak yang sama dari komunitas warga negara lainnya.

Kedua, rezim SBY perlu segera memberikan kejelasan, apa kepentingan nasional (national interest) yang ingin dicapai. Ini dimaksudkan, supaya rakyat Indonesia tetap berpola pada rumusan kepentingan nasional. Berinisiatif mendukung langkah-langkah pembaruan, tanpa melepaskan diri dari keseluruhan konteks gerakan dan arah perubahan (reformasi) nasional.

Ketiga, transparency. Mekanisme politik harus terbuka. Alasan-alasan mengapa sebuah alternatif dipilih oleh pemerintah untuk dijalankan dalam mengatasi persoalan publik, perlu diumumkan. Supaya, rakyat menyadari apa yang dapat diterima dan didukung dan apa yang perlu ditolak. Dan, dari sisi mana dapat berpartisipasi memberi dukungan terhadap perubahan yang sedang dijalankan pemerintah.

Keempat, mutual trust. Rezim SBY perlu segera membangun situasi “saling percaya” antara rakyat dan pemerintah. Hal ini dimaksudkan, supaya setiap inisiatif dan keputusan yang diambil pemerintah dirasakan sejalan dengan arah yang dikehendaki bersama.

Kelima, rasionality. Adanya keharusan dari seluruh agen perubahan untuk lebih mengutamakan akal sehat daripada perasaan dalam bertindak.

Dengan menjalankan hal-hal tersebut di atas, diyakini, rezim SBY yang menerima otoritas kekuasaan dari publik melalui Pemilihan Umum dalam mengolah dan mengendalikan seluruh struktur kelas dalam masyarakat Indonesia, dapat memulihkan kepercayaan publik atas peran kekuasaannya. Menempuh jalan ini, dimaksudkan supaya terhindar dari  “potensi revolusioner” yang berakar dari kelas masyarakat menengah ke bawah yang tampak kian hari kian terkonsolidasi. Dengan demikian, SBY dapat mengahiri masa jabatan dengan baik sampai pada pemilihan umum tahun 2014.

Catatatan kaki
[1] Lihat, H.A. Landsberger dan Y.G. Alexandrov., Pergolakan Petani dan Perubahan Sosial., JIIS. Jakarta, 1984.

[2] Lihat, Theda Skocpol, Negara dan Revolusi Sosial: Suatu Analisis Komparatif Tentang Prancis,Rusia dan Cina., Erlangga, Jakarta., 1991.

[3] Tentang konsep ini, lihat, Barrington Moore, JR, Social Origins of Dictatorship and Democracy, Penguin Boks, USA, 1991.

[4] Lihat, Anthony Giddens., The Class Structure of the Advanced Societies, Cambridge, 1987.