Wednesday, October 21, 2009

CAPITALISM: Neo-Marxian Perspective (3)


Roy Erickson Mamengko 

Dalam penelitiannya tentang perkembangan dunia kapitalis selama tiga periode besar masing-masing (perdagangan 1500-1770, industri 1770-1870, dan imperialisme sejak 1870), Frank mengaitkan perbedaan regional dan konsekuensinya terhadap “akumulasi kapital dunia” . Analisa ini diteruskannya dalam karya-karyanya tentang krisis ekonomi dunia dan krisis-krisis di dunia ketiga. Frank memeriksa apakah “krisis ekonomi” dan “politik baru” dunia “terpusat” pada akumulasi modal yang berlebihan pada kaum kapitalis barat, dan transformasi terpusat dari hubungannya dengan kaum sosialis timur dan selatan yang terbelakang (Frank 1981, IX). 

Terhadap pandangan Frank tentang sistem kapitalisme yang kurang berkembang ini, James Petras mengemukakan keritik atasnya, bahwa; “kapitalisme tidak menempatkan sebab-sebab dan sifat dari peristiwa-peristiwa dan kebijakan-kebijakan yang tidak berkembang cepat, tetapi dari pemutusan proses analisa historis (Petras 1967, 50-51). Petras juga berupaya meyakinkan pemikir lain bahwa Frank telah menyediakan bahan pembicaraan tentang imperialisme dan struktur-struktur kelas. Terhadap pandangan Frank ini, Ernesto Laclau (1971) mengemukakan bantahannya jikalau Frank berangkat dari teori yang Marxis yang berbicara tentang feodalisme dan kapitalisme sebagai sistem-sistem sosial yang berpengaruh terhadap hubungan timbal balik dari bentuk-bentuk produksi, karena menurut padangannya, pendekatan Frank sulit digunakan untuk menganalisa dengan konsisten bentuk peralihan dari feodalisme dan kapitalisme. 

Penilaian lain terhadap kelemahan pemikiran Frank atas hasil kerjanya, David Booth merujuk pada latar belakang pendidikan Frank sebagai seorang ekonom dan bekerja memimpin Komisi Ekonomi Untuk Amerika Latin (ECLA), dimana karena dorongan alasan pribadi dia tidak setuju dengan kapitalisme, disamping itu, dia juga mendudukkan pendangan Marxis tanpa Fidel Castro (Booth 1975, 64). Booth selanjutnya mengemukakan kecaman terhadap pemikiran Frank dengan mengatkan; “pemikiran Frank itu hanya mengartikan keterbelakangan dalam pengertian kelas-kelas dan tidak membicarakan hubungan antara bentuk-bentuk produksi dalam wilayah nasional dan sistem ekonomi internasional”. 

Dalam tinjauan lainnya, Aiden Foster Carter justru memuji pekerjaan Frank. Menurutnya, Frank telah berjasa membedakan persoalan pemikiran yang dihadapi oleh Marx dan Lenin. Dengan merujuk pada contoh tesis dari Thomas Kuhn, Carter mengatakan; “jasa besar Andre Gunder Frank karena dia “menemukan model pendekatan baru”. Kendati, pemikiran Frank ini belum membedakan dengan pasti bentuk-bentuk produksi dari formasi sosial dan kesalahan tafsir Frank atas pertukaran hubungan yang mendominasi produksi, dan pandangannya tentang struktur kota-satelit lebih dahulu sebelum kelas-kelas (Foster-Carter 1976, 175-176). 

Laporan Frank tentang sejarah akumulasi kapital mengundang kritik juga. Quentin Skinner menunjukkan kelemahan utama dari determinisme ekonomi Frank (Skinner 1979, 15). Dia mengajukan tiga keberatan; Pertama, “Frank mengambil cara pandang lama, yakni impor emas dalam jumlah yang besar hanya pada abad 16, sedangkan dalam kenyataannya pertambangan di Potosi tidak mengeksploitasi emas dalam jumlah besar sampai tahun 1560-an. Kedua, Frank menganggap ada “satu masa gawat” selama abad 17, tetapi asumsi ini sulit diterima sebagai penyebab krisis dunia pada suatu waktu, karena Cina dan Jepang masa itu sangat terisolir. Akhirnya, tekanan Frank atas peranan dari perdagangan internasional dalam menjelaskan “tinggal landasnya Inggris dalam menopang petumbuhan ekonomi sangatlah tidak masuk akal” (Skinner 1979, 15). 

John Taylor juga mengeritik surplus ekonomi Frank yang mengatakan bahwa konsep “suplus ekonomi” yang diambilnya dari Baran, mengahalangi beberapa struktur dari susunan masyarakat, reproduksi, perkembangan bentuk-bentuk penetrasi produksi kapitalis kedalam bentuk-bentuk yang bukan kapitalis, maupun perbedaan bentuk dari penetrasi kapitalis”, tidak dapat memberi alasan yang cukup bagi perkembangan bentuk-bentuk panetrasi produksi kapitalis kedalam negara-negara terbelakang. Taylor juga percaya bahwa Frank cenderung mengurangi penjelasan tentang struktur sosial ekonomi negara maju sebagai suatu bentuk determinisme ekonomi (Taylor 1979, 85, 91, 95, 96). 

Anthony Brewer juga mengemukakan kritik yang hampir serupa dengan mengatakan; “prosedur yang ditempuh Frank, terlalu biasa, pendek, analogis dari sejumlah bukti-bukti sejarah dan dari sumber-sumber penulis. Masalahnya, gagasan Frank ini tidak memberikan penjelasan dan ketegasan yang rinci, teoritis dan sistematis letak penting masalah yang dipersengketakan yang menyangkut perkembangan, keterbelakangan, metropolis, negara satelit, dan kapitalisme. Tampak Frank sering memakai istilah-istilah tersebut dengan pengertian yang tidak tepat, dan mengaburkan unsur-unsur yang dibutuhkan oleh suatu logika. (Brewer 1980, 164-165). Brewer mengemukakan pengertian tentang ‘rantai’ hubungan antara kota-kota besar (metropolis) dan negara-negara kecil (satelit) dari Frank sebagai suatu sistem redistribusi yang bertolak belakang dengan pandangan Marxian klasik, Lenin dan Bakharin yang memandang bahwa imprialisme merupakan bagian dari suatu proses internasionalisasi kapitalis. Perhatian Frank pada pengisapan terhadap surplus ekonomi dari negara-negara satelit yang dilakukan oleh kota-kota besar (metropolis) untuk menjelaskan keterbelakangan di negara-negara satelit haruslah dititik beratkan pada penggunaan surplus ekonomi oleh perusahaan lintas negara (Brewer 1980, 173-177). 

Meskipun Brewer, Taylor dan Booth terus mengeritik pemikiran-pemikiran Frank namun mereka mengakui bahwa sumbangan Frank bukan hanya menentang pemikiran lama, dan telah mencuatkan persoalan-persoalan baru melalui usaha penelitian tentang keterbelakangan yang terjadi di negara-negara pinggiran (periphery), tetapi dia juga telah mengarahkan pada pentingnya menganalisa persoalan keterbelakangan negara-negara kapitalis di peripheri dalam konteks sistem dunia. Selanjutnya, pandangaan Frank harus diakui secara radikal telah mendorong para kaum terpelajar mengevaluasi gagasan-gagasannya melalui teori-teori klasik Marxian. Hampir semua kritik yang dialamatkan pada gagasan Frank setuju, bahwa “sudah saatnya melakukan debat dan penilaian yang mendasar atas pemikiran Frank tentang kemajuan dan keterbelakangan”. 

Sementara Frank memusatkan perhatian pada perkembangan kaum kapitalis dan keterbelakangan di Amerika Latin. Walter Rodney memusatkan perhatian pada pengalaman historis di Afrika sebagaimana tertuang dalam karyanya How Europe Underdevelopment Africa (1972). Rodney mulai dengan memberi suatu batasan tentang perkembangan seperti berikut; “pada tingkat kepribadian, hal ini berarti menambah kemampuan dan kesanggupan, kebebasan yang lebih besar, kreativitas, dan disiplin diri, tanggung jawab dan kesejahteraan material. (Rodney 1972, 9). Bertolak dari batasan ini tampak keyakinannya bahwa masyarakat metropolis yang secara ekonomis maju dikarenakan anggota masyarakatnya mampu bekerja secara kolektif mengolah kekayaan alam yang mereka miliki, dan ada pembagian kerja untuk menghasilkan surplus produksi. 

Dengan demikian apa yang dapat disaksikan adalah suatu perkembangan historis yang melalui suatu proses evolusi model-model produksi. Semua masyarakat sama akan mengalami perkembangan, tetapi laju perkembangan tidaklah sama pada setiap tempat. Sebab, bagaimanapun semua tahap perkembangan baik yang sudah maupun yang sementara mengalami akhirnya harus memberi ruang untuk suatu formasi sosial yang baru. Contohnya; imperialisme adalah tahap menuju perkembangan kearah kapitalisme dan imperialisme ini memungkinkan terbukanya kapitalisme meluas keseluruh belahan dunia, sementara sosialisme bergerak kesisi yang paling lemah dari imperialisme, terutama di kawasan-kawasan yang tergatung. 

Dengan kondisi seperti itu, akan timbul nasionalisme dan kemerdekaan di antara bangsa-bangsa yang terjajah. Selanjutnya, sasaran produksi menumpuk kekayaan material akan beralih ke pemenuhan kebutuhan manusia yang lebih manusiawi. Jadi keterbelakangan bukanlah hadir dari perkembangan, melainkan berkaitan dengan gagasan atas perkembangan itu sendiri yang telah ada dimana-mana. Jadi ada eksploitasi yang dilakukan oleh salah satu masyarakat terhadap masyarakat yang lain, sebagai konsekuensi dari adanya kolonialisme, kapitalisme, dan imperilaisme. Rodney mengakui adanya anggapan baik terhadap gagasan “keterbelakangan” tetapi menolak keinginan untuk menggantikannya dengan konsep “perkembangan” karena sasaran akhir dari negara-negara Afrika, Asia dan Amerika Latin adalah untuk melepaskan diri dari kondisi penindasan dan keterbelakangan (Rodney 1972, 22). 

Penutup
Stelah perang dunia II, Negara-negara yang terlibat dalam perang tersebut, terutama Eropa Barat, banyak yang mengalami kesulitan ekonomi akibat tingginya biaya perang. Untuk memulihkan kembali kondisi ekonominya akibat perang itu, maka Negara-negara Barat melakukan konsolidasi. Hasil dari konsolidasi itu adalah “adanya perubahan dalam hubungan antar Negara dibidang politik, ekonomi dan sosial. Negara-negara Barat tidak mungkin lagi melakukan penjajahan fisik karena tuntutan keadaan pasca Perang Dunia II. Dengan perkataan lain, “dominasi kapitalisme” tidak lagi diwujudkan dalam penjajahan fisik, tetapi diwujudkan dalam bentuk penjajahan non-fisik. Bangkitnya Negara-negara baru yang merdeka di Asia dan Afrika pasca Konferensi Asia-Afrika di Bandung 1955, yang sebelumnya merupakan Negara-negara jajahan Eropa dan Amerika Serikat menjadi “ancaman baru” bagi eksistensi paham kapitalisme, karena banyak diantara Negara-negara yang baru merdeka tersebut lebih ”tertarik” pada “paham sosialisme” untuk melakukan perubahan sosial. Hal yang menambah kekawatiran Negara-negara barat, pada masa itu “Perang Dingin” mulai melanda dunia. Amerika Serikat dan negara-negara Eropa Barat menyadari situasi ini sehingga mereka mendorong para ilmuan sosial mengembangkan teori-teori yang dapat menarik dan dapat diterapkan di negara-negara Dunia Ketiga, sekaligus dapat “melanggengkan kapitalisme”. 

Di bidang sosial misalkan; Negara-negara maju itu mulai dilakukan “rekayasa sosial” melalui penyusunan teori-teori sosial. Salah satu teori sosial yang kemudian di sodorkan ke negara-negara berkembang dan yang baru merdeka adalah “teori Mordernisasi” atau “teori pembangunan” yang dikembangkan di Amerika Serikat sejak tahun 1948. Dengan “teori modernisasi”, pertumbuhan ekonomi itu diharapkan dapat berjalan menurut proses atau tahap-tahap tertentu, yang juga pernah dialami oleh negara-negara maju. Penerapan teori “modernisasi” dalam kebijakan Dunia Ketiga menyebabkan “terbukannya peluang” bagi “negara-negara kapitalis” untuk mengembangkan usahanya di Dunia Ketiga melalui perusahaan-perusahaan multinasional. Dalam oprasinya, perusahaan-perusahaan ini kemudian melakukan eksploitasi sumber daya alam dan sosial di negara-negara tersebut. Hal ini pada kenyataannya sangat merugikan negara-negara Dunia ketiga, termasuk Indonesia karena yang terjadi kemudian adalah kerusakan lingkungan fisik, sosial bahkan budaya. 

Semisal Brasilia, Negara ini termasuk kelompok negara yang memiliki laju pertumbuhan tertinggi di dunia, jikalau diukur dengan produk nasional bruto. Meskipun demikian, hanya lapisan atas yang menikmati laju pertumbuhan ini; 5% penduduk yang merupakan kelompok terkaya meningkat pendapatannya dari 29% manjadi 38%. Sedangkan 40% penduduk dari kelompok termiskin malah harus memperketat ikat pinggang, karena pendapatan mereka menurun dari 10% menjadi 8%. 

Di kebanyakan negara sedang berkembang rata-rata hanya 10,20 atau 30% penduduk dari kelompok terkaya yang dapat menikmati hasil pembangunan nasional negara mereka serta bantuan dari luar negeri selama 20 tahun terakhir. Sedangkan kelompok miskin bahkan tergilas oleh laju pembangunan dan terdesak ke dalam jurang kesengsaraan. 

Kenyataan-kenyataan sosial sebagaimana yang diuraikan oleh para pemikir “Neo-Marxian” dalam hubungannya dengan “kapitalisme” dalam tulisan ini, secara moral mendesak untuk direnungkan kembali secara bersama, terutama bagi yang masih mempunyai hati nurani.- 

Rujukan
Baran, Paul A., 1960, The Political Economy of Growth. New York: Prometheus. 

----------------., 1969, The Longer View: Essays Toward a Critique of Political Economy. New York: Monthly Review Press. 

Baran, Paul A., and Paul M. Sweezy., 1966, Monopoly Capital: An Essay on the American Economic and Social Order. New York: Monthly Review Press. 

Booth, David., 1975, “Andre Gunder Frank: An Introduction and Appreciation. Pp.50-85 in Ivar Oxaal, Tony Barnett, and David Booth, eds., Beyond the Sociology of Development. London: Routledge end Kegan Paul. 

Brewer, Anthony., 1980, Marxist Theories of Imperialism. London: Routled and Kegan Paul. Includes, among others, chapters on Amin, pp.233-257, Baran, pp. 131-157, and Frank, Wallerstein, and the Dependency “theorists”, pp. 158-181. 

Cypher, James., 1977, “The Third Historical Epoch of the Capitalist Mode of Production.” Insurgent Sociologist 7 (fall), 74-82. 

------------------., 1979, “The Internationalization of Capital and the Transformation of Social Formationas: A Critique of the Monthly Review School”. Review of the Political Economics 11, 33-49. 

Foster-Carter, Aiden., 1976, “From Rostow to Gunder Frank: Conflicting Paradigms in the Analysis of Underdevelopment”. World Development 4 (March), 167-180. 

-----------------., 1977, “The Modes of Production Controversy”. New Left Review, 107 (January-February), 47-77. 

Frank, Andre Gunder., 1966, Capitalism and Underdevelopment in Latin America: Historical Studies of Chile and Brazil. New York: Mothly Review Press. 

----------------., 1969, Latin America-Underdevelopment or Revolution: Essays on the Development of Underdevelopment and the Immediate Enemy. New York: Monthly Review Press. 

----------------., 1975a, “Development and Underdevelopment in the New World: Smith and Marx vs the Weberians”. Theory and Society 2, 431-466. 

----------------., 1977a, “Dependence is Dead, Long Live Dependence and the Class Struggle: An Answer to Critics,” World Development 5, 355-370. 

----------------., 1977b, “Long Live Transideological Enterprise: The Socialist Economies in the Capitalist International Division of Labor”. Review 1, 91-140. 

----------------.,1978a, Dependent Accumulation and Underdevelopment. London: MaCmillan. New York: Mothly Review Press, 1979. 

----------------., 1977, Mexican Agriculture, 1521-1630: Transformation of the Mode of Production. Cambridge University Press. 

----------------., 1981a, Crisis in the Third World. New York: Holmes and Meiyer. 

----------------., 1981b, Crisis: In the World Economy, London: Heinemann. 

----------------.,1981c, Reflections on the World Crisis. New York: Mothly Review Press. 

Gerstein, Ira., 1976, “Theories of the World Economy and Imperialism”. Insurgent Sociologist 7, 9-22. 

Ovgaard, Morten., 1982, “Some Remarcks Concerning Peripheral Capitalism and the Peripheral State. Science and Society 46, 385-404. 

Petras, James., 1966, “The Roots of Underdevelopment”. Monthly Review 9, 4 – 55. 

-----------------., 1977, “Dependency and World System Theory: A Critique and New Directions”. Latin American Perspectives 7, 148-155. 

Sau, Ranjit., 1975, “Capitalism, Imperialism, and Underdevelopment”. Economic and Political Weekly. 33-35: 1263-1276.