Wednesday, February 24, 2010

MARXISME: Tentang Pertentangan Kelas & Ekonomi

Ilustrasi si kaya dan si miskin
Pengantar
Catatan ini ditulis karena permintaan dari beberapa mahasiswa saya, ketika saya sedang memberikan kuliah kepada mereka dengan topik yang tidak bertalian  dengan Konsep Kelas  ini. Saya tanyakan alasan mereka, mengapa butuh  penjelasan dari saya, sementara bacaan yang terkait dengan konsep maupun teori tentang kelas-kelas dalam masyarakat dari berbagai penulis dan dari beragam sudut pandang bertebaran di berbagai perpustaan dan di situs-situs internet yang dengan mudah dapat mereka akses untuk dibaca dan di dalami?

Ada tiga alasan utama  yang mereka sampaikan kepada saya, sehingga permintaan mereka itu saya penuhi. Pertama, karena tidak semua dosen yang mengajar di  fakultas imu sosial dan ilmu politik di dalam perguruan tinggi di Indonesia, secara formal bersedia membahas dan mengajarkan kepada mahasiswanya pemikiran-pemikiran sosial dan politik dari Karl Marx. Keengganan ini kemungkinan besar disebabkan karena trauma dari praktek kekuasaan politik masa pemerintahan rezim Orde Baru, yang melarang bahkan memberangus orang-orang yang diketahui melakukan pendalaman, apalagi mengembangkan  ide-ide Karl Marx, Lenin dan Stalin, baik di dalam maupun di luar universitas.  Kedua, bangkitnya situasi orde reformasi dua belas tahun terakhir, memang tampak kebebasan perpikir dan berpendapat mulai sangat terbuka, namun Ketetapam Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS) No. XXV/1966 yang membatasi kebebasan berekspresi kalangan masyarakat dan kaum cerdik pandai terkait dengan buah pemikiran Marxime dan Leninisme, tampak belum ada tanda-tanda dari pihak pemerintah untuk mencabutnya. Untuk diketahui; TAP MPRS No. XXV/1966 ini menyebutkan: “bahwa mempelajari paham komunisme/Marxisme-Leninisme dalam rangka mengamankan Pancasila dan secara ilmiah, seperti di iniversitas-universitas, dapat dilakukan secara terpimpin”. Ketiga, permintaan para mahasiswa saya tersebut di atas, saya penuhi tetapi tidak di dalam ruang kelas tetapi melalui; http://www.royerickson.blogspot.com saja.

Kata Marx soal eksistensi manusia
Marx dalam Communist Manifesto  mengatakan; Sampai saat ini, sejarah masyarakat manapun di muka bumi adalah sejarah pertentangan kelas. Si merdeka dengan si budak, kaum bangsawan dengan rakyat jelata, majikan dengan babu, tuan dan pesuruhnya, antara penindas dan tertindas. Posisi yang berhadap-hadapan ini akan selalu ada dan tidak bisa dibantah. Sekarang, perlahan namun pasti, akan ada “perang terbuka”, perang untuk merekonstruksi masyarakat pada umumnya, dan khususnya, untuk menghancurkan kelas penguasa”.[1]

Pesan dalam kutipan itu yang dapat saya tangkap jelas, bahwa menurut  Marx, sejak  manusia lahir  dimuka bumi ini, ia bukannya dimotivasi oleh “ide-ide besar”, melainkan lebih dikendalikan oleh kebutuhan materi, kebutuhan yang dapat membuat mereka bertahan hidup. Ini adalah fakta pertama yang dipakai oleh kaum materialistis dalam melihat sejarah.

Seluruh manusia butuh pangan, sandang dan pangan. Ketika kebutuhan-kebutuhan itu telah terpenuhi, barulah muncul keinginan untuk hal-hal lain, misalnya, seks. Proses reproduksi kemudian melahirkan keluarga dan masyarakat yang tentunya akan menuntut kebutuhan-kebutuhan material yang lebih banyak dan kompleks. Semua itu menurut Marx, hanya bisa terpenuhi dengan membangun dan mengembangkan apa yang disebutnya sebagai “bentuk produksi” (mode of productions).[2]  Keperluan dan kenyamanan hidup kadangkala harus diperoleh dengan berburu dan mengumpulkan makanan dari hutan atau mencari ikan, bercocok tanam dan bentuk-bentuk pekerjaan lainnya.

Selanjutnya, karena masyarakat yang terlibat dalam usaha-usaha ini, dan teridiri dari berbagai tipe, ada yang cekatan dan ada yang lambat, ada yang kuat dan ada yang lemah, maka dengan sendirinya akan terbentuk pembagian kerja (division of labor), lain orang lain tugasnya. Marx menamakan hubungan yang terjadi di tengah-tengah mereka yang sudah terpilah-pilah menurut kemampuannnya ini dengan  “hubungan produksi” (relation of productions). Misalnya; saya adalah seorang pembuat  perahu untuk melaut dan anda pembuat jala untuk menangkap ikan. Dalam masyarakat sederhana dan paling awal ini yang disebut Marx sebagai masyarakat komunis-primitif.  Kedua peralatan tersebut (perahu dan jala) dimiliki oleh setiap anggota masyarakat di kampung dan setiap orang berhak menggunakannya ketika mereka memerlukannya.[ 3]

Bagi Marx, masyarakat komunis primitif tersebut  adalah bentuk organisasi manusia yang paling alami. Dalam kondisi ini, masyarakat bisa menikmati hidup mereka dengan melakukan pekerjaan yang memang mereka inginkan dan butuhkan, serta bisa berhenti pada saat mereka lelah atau tidak merasa membutuhkannya lagi. Mereka merasa memiliki kelompoknya, namun tetap mampu membatasi diri untuk berbuat sesuatu demi kepentingan pribadi masing-masing.

Hubungan kelas dan  produksi menurut Marx
 Dalam perkembangan selanjutnya, terjadilah sebuah perubahan drastis, ketika pengertian hak milik pribadi (privasi) mulai dikenal oleh masyarakat. Dampak perubahan ini sangat nyata dalam tahapan sejarah peradaban-peradaban prasejarah. Menurut Marx, hubungan produksi akan mengalami perubahan 180 derajat dalam masa ini. Si pembuat pembaruan mengklaim perahu yang dibuatnya adalah hak miliknya, begitu juga dengan pembuat jala, yang mengklaim hal serupa. Hubungan antar keduanya hanya akan terwujud bila terjadi proses tukar-menukar hasil pekerjaan mereka, yaitu dengan menjual barang yang mereka hasilkan atau membeli barang yang mereka butuhkan.

Tidak lama kemudian, mencuat kesenjangan antara masyarakat yang menguasai hak milik yang lebih banyak dengan masyarakat yang tidak memiliki apa-apa. Dalam pada itu, dengan berubahnya model produksi yang semula berburu menjadi bercocok tanam, dengan sendirinya orang yang memiliki “properti” yang lebih banyak  akan berada pada posisi yang semakin diuntungkan. Mereka tidak hanya mempunyai berbagai produk pangan, tapi juga menguasai tanah sebagai tempat bercocok-tanam. Karena orang kebanyakan tidak memiliki tanah, dengan sendirinya akan ada yang menjadi tuan tanah, dan yang lainnya hanya menjadi orang-orang yang bergantung  pada kemurahan hati dari para pemilik modal, menjadi pembantu, atau bahkan menjadi  budaknya. Hak milik pribadi dan pertanian adalah dua hal paling penting dalam zaman peradaban klasik. Kedua hal tersebut  telah  membantu mendorong terciptanya krisis hebat dalam kemanusiaan, yaitu pembentukan kelas-kelas berdasarkan kekuatan dan kekayaan. Dari sinilah dimulai konflik sosial secara permanen.[4]

Di zaman pertengahan, model produksi tidak jauh berbeda dengan peradaban klasik. Pada zaman ini, peradaban manusia masih didominasi oleh pertanian. Sedangkan struktur konflik sosial masih terus terbentuk. Tuan tanah dan para pekerja menggantikan posisi tuan dan budak di zaman sebelumnya.

Dalam dunia modern ini pun, konflik antar kelas masih tetap ada, bahkan bertambah tegang dan kian pelik. Kapitalisme modern memperkenalkan model produksi baru dalam bentuk pabrik-pabrik dan  perdagangan. Perubahan model produksi ini tentu saja akan merubah hubungan produksi. Si bos dan si pekerja masih tetap ada. Yang membedakannya dengan peradaban sebelumnya adalah soal “pola konflik yang terjadi antara kedua belah pihak.

Dengan memperkenalkan aktivitas-aktivitas komersil dan tawaran laba dalam skala besar, kapitalisme mem berikan keuntungan bagi orang-orang yang disebut Marx sebagai kaum borjuis atau  “middle Class” (yang dimaksud Marx dengan teminologi ini adalah yang kita kenal sekarang dengan golongan kaya yang berada di atas kelas menengah, seperti para manager dan pemilik perusahaan). Sebaliknya, para buruh yang di-istilah-kan Marx dengan kaum proletariat hampir tidak memiliki apa-apa. Mereka menjual tenaganya seharian kepada pemilik perusahaan agar mendapatkan upah untuk menyangga hidupnya.
  
Situasi ini semakin diperburuk oleh perkembangan kapitalisme menjadi industrialisme. Era industri melahirkan pabrik-pabrik tempat para buruh menghabiskan waktu dan tenaga dengan mesin-mesin yang akan memproduksi barang dalam jumlah yang sangat banyak. Semua ini akan membawa keuntungan berlimpah bagi para pemilik pabrik tersebut. Perkembangan kapitalisme industrial ini semakin menyeret konflik antarkelas kepada titik klimaksnya dan satu fase yang sangat genting, yaitu satu periode dimana penderitaan kaum proletar semakin parah. Dan, di waktu ini pulalah, para buruh menggantungkan nasibnya pada revolusi. Mereka dapat menjadi nekad melakukan penyerangan untuk menghancurkan seluruh sistem sosial-ekonomi yang selama ini telah menindas mereka. Mau tak mau, kekacauan situasi ini harus diterima, karena kaum kaya tidak akan pernah sudi menyerahkan milik mereka, kecuali direbut dengan jalan kekerasan. Bagaimana pun, konfrontasi tidak akan terelakkan lagi sebab memiliki akar sejarah yang sangat dalam yang tak satu masyarakat, bangsa atau kelas pun mampu menahannya.

Misi Komunisme
Di belahan dunia manapun, komunisme punya dua misi sekaligus; Misi pertama adalah “edukasi”. Komunisme harus menjelaskan seluruh kenyataan yang telah diuraikan di atas,  kepada orang-orang yang belum mampu menyadarinya. Misi kedua adalah “aksi”. Paham komunisme  selalu  menyerukan kepada kaum proletar di manapun berada untuk mempersiapkan lahirnya revolusi. Bagaikan sabda Nabi Ibrani Kuno, partai komunis bergerak untuk menghancurkan negara dan kelas penguasa.[5] Dia menyarankan agar para buru membentuk perserikatan, harus ’berenang” sesuai dengan kenyataan aliran sejarah saat ini. Kemudian, memperkokoh kekuatan agar gelombang sejarah bisa takluk di tangan mereka. Akhirnya, mereka akan berusaha meraih masa depan yang lebih cerah disaat telah mampu menghancurkan kapitalisme sampai ke akar-akarnya.

Sesudah badai hebat ini, barulah masa-masa indah penuh kebebasan dan kedamaian akan kembali tercipta dalam kehidupan manusia. Untuk mencapai tujuan ini, pertama-tama tentu ada satu masa transisi, suatu pemerintahan-perantara yang dinamakan Marx dengan “diktator proletariat” (dictatorships of proletariat) agar rakyat miskin yang tidak berdaya dapat dikontrol sepenuhnya. Kekuasaan diktator proletariat ini perlahan-lahan memberi jalan bagi tahap kedua dan tahap final dari episode sejarah, dimana keharmonisan manusia benar-benar terwujud dan tidak ada lagi pembagian kelas serta milik pribadi.[6]

Catatan dan anjuran
Marx bukan satu-satunya orang yang mengetengahkan garis besar konsep pembagian dan pertentangan kelas. Dia memang sepenuhnya sadar bahwa dialah yang menemukan hubungan antara pembagian kelas sosial dengan beberapa tahapan perkembangan ekonomi dan meramalkan masa depan pertentangan kelas ini akan bermuara pada satu revolusi dan hilangnya kelas-kelas sosial tadi. Akan tetapi, kemudian muncul pertanyaan; dari manakah acuan ide-ide ini mula-mula? Bagaimana dia memperoleh suatu pengertian tentang sejarah manusia yang bergerak menuju masa depan yang sangat indah, tapi hanya bisa diraih melalui suatu masa pertentangan yang penuh dengan kekerasan dan kesengsaraan? Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut, saya menganjurkan kepada kalian menyisihkan waktu  menelusuri sejarah kehidupan Marx di Berlin dan mendalami pengaruh Hegel dalam pemikirannya. Sekian !

Rujukan dan catatan:
[1]        Lihat Marx and Engels, The Communist Manifesto, dalam Selected Works. Hlm. 1:34.

[2]        Tulisan yang dapat membatu memahami teori “model produksi” dan “hubungan produksi” dikarang oleh Terrel Carver, A Marx Dictionary, Totowa, NJ: Barnes & Noble Books, 1987.

[3]        Pandangan Marx tentang model produksi dan Kelas-kelas  masyarakat, lihat Friedrich engels (ed.), Caliptal, 3 jilid, New York: Internasional Piblishers, 1967, hlm. I:76-79.  Sedangkan tulisan yang membahas dengan ringkas masalah ini dikarang oleh Julius Smulkstys, Karl Marx, New York: Twayne Publishers, Inc., 1974, hlm. 37-40.

[4]        Uraian konsep Marx tentang “kelas” dan “pertentangan kelas” dapat dilihat dalam Carver, Marx Dictionary, hlm 57-64. McLellan dalam, The Though of Marx, hlm. 151, menerangkan  bahwa Marx tidak pernah menjelaskan konsep ini secara sistematis, walaupun konsep ini adalah jantung pemikirannya. Dia tentu sadar bahwa konsep “kelas” ini bukan barang baru lagi saat itu, karena telah dikaji juga oleh St. Simon dari Perancis. Karya St. Simon dan para penulis sosial Perancis lainnya telah dikenal Marx sejak tahun 1840.

[5]        Tahap akhir dari peseteruan dua kubu , komunis dan kapitalis, proletariat dan borjuis, adalah inti buku The Communist Manifesto,  dalam Marx dan Engels, Selected Works, I: hlm 44. Marx tidak pernah mengabaikan masalah ini dalam setiap tulisannya.

[6]        Uraian tentang Utopia Marx dan Engels terhadap masyarakat tanpa kelas, tanpa ada lagi hak milik pribadi dan pembagian kerja, didapati dalam buku The German Ideology (edisi ke-2), Moscow: Progres Publisher 1845-1846, 1968,  hlm. 44. Di sini mereka berdua menulis, “Kalau saya nanti hidup dalam masyarakat komunis, maka saya akan bisa mengerjakan setengah pekerjaan hari ini, dan setengahnya lagi besok, saya akan berburu di pagi hari, memancing di sore hari, dan mengembalakan ternak saya dimalam hari, berbicara apa saja di saat makan malam. Semua itu saya lakukan tanpa harus berpikir bahwa saya adalah pemburu, pemancing, peternak atau pembual.”