Thursday, February 10, 2011

IDEOLOGI KEBANGSAAN vs POLITIK SEGMENTASI: Pergulatan yang mengancam Integrasi Nasional?

Oleh Roy Erickson Mamengko


Transformasi ideologi kebangsaan setelah pemerintahan Orde-Baru faktanya masih meninggalkan persoalan-persoalan kebangsaan yang krusial. Wujud dari transformasi ideologis yang dirasakan kental dengan kepentingan kelompok, sentralistik dan otoritarian itu, belakangan mencuatkan peristiwa-peristiwa sosial baru. Dimana, bukan hanya demokrasi yang bangkit, tapi juga tumbuhnya konflik-konflik sosial baru dengan penonjolan-penonjolanya yang sepesifik dan sangat vulgar, kususnya antar agama, etnik, wilayah dan ideologi. Hal ini, antara lain, dicirikan oleh bangkitnya semangat komunitas-komunitas etnik, wilayah dan agama dalam wilayah negara Proklamasi 1945 ini, ingin berpaling dari "ikatan kebangsaan" untuk menemukan identitas diri mereka dalam "local-genius". Kendati, dari perspektif negara, persoalan "local-genius" ini secara politis maupun ideologis telah terintegrasikan di bawah perlindungan ideologi negara, yakni Pancasila.

Lantas, faktor-faktor apa saja yang melatari komunitas-komunitas etnik tersebut, ingin berpaling dari ideologi kebangsaan (identitas nasional?) Apakah karena politik kebangsaan selama gerakan reformasi bergulir kususnya di bidang sosial, politik dan kebudayaan selama ini kurang mengakomodir aspirasi kelompok-kelompok masyarakat kedalam agenda pembangunan nasional? Mengapa pula transformasi ideologi kebangsaan di Indonesia tidak berhasil menciptakan perubahan, kususnya pada sektor kebudayaan-politik? Untuk membahas pertanyaan-pertanyaan ini, saya ingin menoleh kebelakang, meninjau akar lahirnya ideologi kebangsaan ini, walau hanya sepintas.

BERMULA DARI UNIVERSITAS SORBONNE 1882
Pada tanggal 11 Maret tahun 1882, kala itu sastrawan Ernest Renan, menyampaikan orasi ilmiah di Universitas Sorbone. Diungkapkannya, bahwa apabila ingin membangun sebuah bangsa, hendaklah masyarakat itu mempunyai ras yang sama, agama yang sama, kehendak yang sama, dan wilayah yang sama pula.

Ide yang diungkapkan Ernest Renan dihadapan para akademikus di Universitas Sorbone itu, kemudian menginspirasi masyarakat dunia ketiga, yang kala itu sedang melakukan perlawanan politik terhadap bangsa-bangsa yang menjajah -- masa antara tahun 1902, 1928 dan 1945 --, bahwa keterkaitan masyarakat dalam suatu negara adalah soal perasaan dan kehendak untuk hidup bersama (le desir de vivre ensemble), karena mengalami nasib dan penderitaan yang dirasakan bersama masa lampau.

Selanjutnya, pada permulaan abad 20, rasa kebangsaan, atau sebutlah sebagai nasionalise-politik Ernest Renan, menyebar ke Amerika Serikat. Kala itu, ditahun 1913, politikus Woodrow Wilson, untuk menggapai niatnya menjadi presiden Amerika Serikat, ia menggunakan gagasan kebangsaan Renan itu sebagai bahan kampanye. Sejak itu, gagasan ini menjalar kebanyak tempat. Dari Amerika merambat ke Asia, termasuk Filipina dan Indonesia. Selanjutnya, gagasan ini mengalir ke universitas-universitas, merasuki pikiran kaum cerdik pandai dan politisi terdidik kala itu.

Sebagaimana disimpulkan oleh para sejarawan, bahwa kasus-kasus politik yang telah mendorong terbukanya jalan dimana wilayah-wilayah yang sebelumnya terpisah-pisah secara politik maupun budaya, mulai dari politik etis 1902, politik persatuan tahun 1928, lahirnya angkatan 45 yang dikenal sebagai generasi pembebas bangsa ini dari ikatan kolonialis, adalah kulminasi dari jiwa kebangsaan yang digagas Ernest Renan itu.

TRANSFORMASI, DISEMINASI DAN RELEVANSI.
Pertanyaan sekarang, masih cocokah transformasi dan diseminasi ideologi kebangsaan yang terilhami ide Renan itu sebagaimana yang dilakukan oleh angkatan 1928, angkatan pembebas 1945, generasi Orde-Baru, dan terakhir generasi Reformasi 1998, dalam upaya menjaga keutuhan dan kerekatan NKRI dari ancaman dis-integrasi dan separasi wilayah?

Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut, bisa sukar, bisa juga mudah. Mengapa, karena batas kebangsaan Renan, sebagaimana yang dijadikan dasar dan motivasi para pendiri NKRI ini, tampak sangat berbeda dengan dasar dan motivasi bangsa Indonesia kontemporer menghadapi dinamika zamannya.

Proposisi tersebut menjadi mudah diselami bila kita mengacu pada asumsi, bahwa akar pikir Renan tidak pada politik atau budaya, tetapi pada "perasaan bersama” (emosi) dan soal "keinginan" saja. jadi, kebangsaan hanyalah merupakan suatu keadaan yang bersifat "psiko-politis" antara kelompok-kelompok masyarakat yang bersifat sesaat atau temporal dalam suatu negara. Artinya, lamanya suatu ikatan kebangsaan dalam sutu negara, sangat ditentukan oleh kemauan kelompok masyarakat. Ketika kemauan kelompok masyarakat muncul untuk memerdekakan diri, maka mereka dapat melakukannya dengan leluasa memilih bergabung dengan kelompok masyarakat lain untuk membentuk suatu negara berdasarkan akar sejarah mereka yang sama. Logikanya, begitu kelompok masyarakat merasa tidak ada gunanya lagi tinggal lebih lanjut dengan kelompok masyarakat lain dalam suatu ikatan “kebangsaan”, mereka boleh saja keluar dari ikatan kebangsaan itu.

CONTOH KASUS
Bangsa Jerman Timur dan Jerman Barat sudah berpisah semenjak tahun 1648. Tiba-tiba pada tahun 1989 keduanya kembali bersatu. Alasannya sederhana, ingin menjadi satu negara dengan patokan rasa kebangsaan. Tetapi, setelah keduanya bersatu dalam satu ikatan “kebangsaan”, muncul masalah sosial baru. Ketika kelompok masyarakat yang dulunya tinggal di wilayah Barat enggan membantu kesulitan ekonomi yang menimpa masyarakat yang di bagian Timur, yang di bagian timur ini kemudian memberi penilaian, bahwa yang di bagian Barat berlimpah makanan, tetapi mereka congkak dan rakus. Sebab, ternyata rakyat yang di bagian Barat itu tidak dapat menunjukkan perasaan mereka sebagai sesama bangsa dalam satu negara.

Beranjak dari kasus tersebut, terbayang, bahwa dengan batas kebangsaan saja, masyarakat Indonesia kontemporer, berpotensi tidak dapat menciptakan saling ketergantungan untuk jangka waktu yang panjang. Mengapa? Karena pada saat pengorbanan ekonomi dan harga diri dibutuhkan oleh kelompok masyarakat yang katakanlah tinggal di bagian Timur Indonesia atas nama kebangsaan, tetapi oleh kelompok masyarakat di bagian Barat tidak dapat mewujudkannya, maka dengan modal perasaan kebangsaan saja sebagai patokan untuk hidup bersama dalam satu negara, dipastikan tidak cukup.

PENGARUH PERSAINGAN KEKUASAAN DAN KEPENTINGAN BARU
Kalau pada masa lalu, ditangah-tengah negara-bangsa ini, dikenal hanya ada dua pusat kekuasaan. Pusat kekuasaan negara dan pusat kekuasaan swasta. Sekarang, negara-bangsa ini telah ketambahan lagi satu pusat kekuasaan baru yang muncul dari hasil konglomerasi perusahaan-perusahaan besar (corporate property). Di-identifikasi sebagai pusat kekuasaan baru, karena dia memiliki modal yang sangat besar dan menguasai sumber daya ekonomi yang tidak terbatas. Power exercised by managemen dikendalikan oleh para pakar profesional dibidang politik, ekonomi bahkan militer. Karenanya, untuk menggapai suatu keinginan, dia dapat memperolehnya dengan mudah, termasuk mendapatkan dukungan politik dari masyarakat dan dukungan hukum formal dari negara. Bukan hanya itu, dia juga telah menjadi inspirator dan motivator tumbuhnya korupsi dan munculnya para koruptor.

Melembaganya pusat kekuasaan ketiga dengan struktur organisasi asosiatif yang menguasai sumber daya ekonomi tak terbatas, secara otomatis, juga telah mendorong tumbuhnya kelompok-kelompok masyarakat marginal. Karena, beralihnya penguasaan ruang hidup sosial, yang sebelumnya berada dalam wilayah penguasaan komunitas masyarakat yang papah. Akibatnya, kelompok-kelompok ini, secara organis membentuk "ideologi marginal baru". Kemudian menjadikannya sebagai alat kekuatan "perunding" dengan berbagai konsekwensi dalam lingkungan kekuasaan negara (power competition) untuk satu tujuan, "bertahan hidup".

PETA JALAN ALTERNATIF
Persaingan kekuasaan (power competition) dan pertarungan ideologi di tengah-tengah bangsa ini, tidak dapat dicegah, apalagi dihindari. Namun, masalah ini perlu dikelola dengan hati-hati. Sebab, berkembangnya prinsip "memilih" pusat-pusat kekuasaan dan ideologi adalah sesuatu yang telah terkondisi. Situasi ini jugalah yang menciptakan budaya bangsa ini berubah-ubah(unstable-culture). Yang tetap stabil adalah "fungsi", yaitu; masing-masing pusat kekuasaan akan berupaya mencapai tujuan dan sasarannya. Masyarakat Indonesia yang mempunyai sikap menerima berbagai pusat kekuasaan dan ideologi sebagai kenyataan sosial, akan mencari keseimbangan di antara pusat-pusat kekuasaan dan ideologi ini.

Karena itu, situasi politik bangsa ini satu dasawarsa mendatang, "ikatan-ikatan primordial" sebagai perasaan yang lahir dari sesuatu yang "dianggap ada" dalam kehidupan masyarakt, tampak akan sangat menjadi masalah. Sebab, setiap kelompok masyarakat dengan sendirinya akan "memilih" pusat-pusat kekuasaan dan ideologi yang menurut diri dan kelompoknya cocok untuk kepentingan dan masadepan mereka. Situasi ini secara otomatis akan sangat meresahkan dan membebani kelompok-kelompok sosial, terutama kelompok-kelompok sosial yang terkait dengan primordialisme.

Begitu pula terhadap perimbangan kekuasaan dan kemakmuran daerah, perlu menjadi perhatian utama. Sebab, daerah dibawah pengaturan UU No.32 tahun 2004, hubungan-hubungan politik-ekonomi dan kebudayaan (Indonesia dalam-Indonesia luar) tampak kian menganga saja. Peran UU ini, belum memberikan kontribusinya sebagai upaya membangun ikatan-kebangsaan sebagai inti, jiwa dan roh, amanah pembukaan UUD negara kita.

Dalam hal menjaga integrasi wilayah dan kebudayaan, penyelenggara negara hendaknya tidak perlu beranjak dari aksioma, bahwa untuk mencapai suatu keadaan negara yang stabil ia harus dibangun dalam ruang tanpa konflik. Hendaklah merujuk pada keadaan, dimana konflik dihadapi sebagai dinamika demokrasi yang harus dikelola dengan keterampilan politik yang kreatif. Hal ini perlu dilakukan untuk menjaga supaya konflik dan penyelesaian konflik tidak mengarah pada penggunaan kekerasan, tetapi pada kompetensi mengelola dan menguji gagasan untuk kepentingan publik.

Eskalasi magnitut sentimen-sentimen primordial, seperti asal usul etnik, wilayah, dan agama yang tampak bergerak dan berubah dengan cepat dapat memicu ketidak stabilan politik dan mengancam kesatuan nasional. Situasi ini, juga, dapat membahayakan peluang pemulihan ekonomi jangka panjang. Jalan keluarnya; pertama, ruang saluran artikulasi kepentingan masyarakat tetap harus dibuka, bersamaan dengan itu, mutu kehidupan sosial kaum marjinal segera didongkrak. Kedua, lokus kegiatan politik dan birokrasi yang sekarang ini sangat berat di Jakarta, segera diseimbangkan dengan lokus kegiatan di daerah, yakni dengan memberi jaminan penguatan posisi tawar kelompok marjinal. Sehingga, devolusi terhadap kekuasaan politik eksekutif yang ada sekarang, tidak lagi sekedar menciptakan legitimasi terhadap supermasi kekuasaan kelompok yang hanya mengandalkan diri pada siapa yang kuat atau siapa yang berkuasa.

Untuk mengubah kondisi-kondisi tersebut, memang banyak faktor yang harus diperbaiki, diantaranya; mekanisme bargaining politik, meningkatkan keunggulan teknologi dan sumberdaya alam, membenahi aturan perdagangan, meningkatkan cadangan devisa dan tingkat konsumsi penduduk. dan yang penting, memperbaiki moralitas kebangsaan aparatur negara dalam upaya bersama mewujudkan amanat UUD 1945.


Tulisan ini dapat juga anda baca pada; http://www.kompasiana.com/royerickson