Monday, October 19, 2009

CAPITALISM: Neo Marxian Perspective [1]

Oleh Roy Erickson Mamengko

Pengantar
Ada dua tujuan utama mengapa tulisan ini dibuat. Pertama, untuk menyoroti pemikiran Paul Alexander Baran, Andre Gunder Frank dan Walter Rodney di bidang ekonomi-politik beraliran Neo-Marxisme. Inti pemikiran para Neo-Marxian ini saya anggap masih untuk cocok digunakan sebagai pisau analisis, guna menjelaskan sebab-sebab mengapa krisis ekonomi dan politik yang berlangsung di negara-negara miskin, seperti Indonesia, sampai saat ini terus berlanjut dan sulit diatasi. Kedua, sebagai pengaya bacaan sekaligus sebagai diskursus  untuk kembali membicarakan dan mendalami pemikiran Karl Marx berkaitan dengan peran negara, kemajuan ekonomi, kekuasaan, strata sosial yang oleh para pelanjut pemikiran Marx sekarang di identifikasi sebagai Neo-Marxian.

Tulisan ini merupakan bagian pertama dari tiga tulisan serial.Sebagaimana diketahui, ketika Perang Duni ke-2 usai, para akademisi di bidang ilmu ekonomi dan humaniora beraliran “Neo-Marxisme” mulai melakukan analisis terhadap interaksi hubungan antara negara-negara yang disebut terbelakang atau miskin dengan negara-negara yang dianggap maju (baca kapitalis).Untuk menjelaskan dinamika interaksi hubungan-hubungan ini, banyak istilah dan kosep terformulasi dari para akademikus Neo-Marxian, diantaranya; “dominasi” core, center, metropolitan, dan peripheri sebagai ancangan penjelas “kondisi “ dan dinamika hubungan-hubungan negara-negara kapitalis dengan akar keterbelakangan dan kemiskinan di dunia ketiga.

Para ilmuan “neo-Marxian ini melalui penelitian dan analisis mendalam menyimpulkan; “bahwa faktor eksternal yang menghambat dan menutup jalan bagi negara-negara “periphery” seperti Amerika Latin yang diwakili Brazil dan Argentina melakukan industrialisasi, “karena berlakunya pola-pola perdagangan yang timpang antara negara-negara periphery sebagai penghasil bahan baku dengan negara-negara yang mengimpor bahan mentah dari daerah pinggiran. Situasi ini diketahui dari “harga barang industri yang terus meningkat dengan cepat, tetapi justru harga bahan mentah yang diproduksi oleh negara-negara periphery ini sulit memperoleh devisa yang mereka perlukan guna mengimpor mesin-mesin dan bahan baku lainnya untuk industri, serta memperoleh surplus dana yang diperlukan guna membiayai industrialisasi mereka. Contoh terkait dengan kondisi hubungan seperti ini, diantaranya; dominasi Inggris terhadap Argentina dan Chili, dominasi Amerika Serikat terhadap bagian terbesar negara-negara di belahan dunia.

Akar persoalan lain yang terkait dengan keterbelakangan dan kemiskinan yang dialami negara-negara periphery atas Negara-negara kapitalis berasal dari pandangan pakar ekonomi Marxian Paul Baran. Dia menganalisis masalah-masalah yang terkait dengan “surplus ekonomi” yang dikaitkannya dengan keterbelakangan sebagai dampak akibat dari “kapitalisme” terhadap negara-negara yang belum maju. Selanjutnya, atas pengaruh pikiran Paul Baran, Andre Gunder Frank kemudian melakukan penelitian lanjut atas tesis-tesis kemajuan dan kemunduran kapitalisme di wilayah negara-negara pinggiran (periphery). Penggalan pertama tulisan ini, terlebih dahulu akan disoroti buah pikiran Paul Alexander Baran.

Kapitalisme: Perspektif Paul Baran

Baran dikenal lewat tulisan-tulisannya mengenai keterbelakangan dan monopoli-kapital. Karya-karya tulisnya antara lain The Political economy of growth (1960), The Longer View (1969) dan satu tulisan  yang dikerjakannya secara bersama dengan Paul Sweezy : Monopoli Capital (1960).[1] Pada mulanya Frank mengembangkan konsepnya dengan bertolak dari sebuah tesis berikut ini:

“ merembesnya kapitalisme ke negara-negara  terpencil yang miskin cenderung menciptakan kemerosotan daripada menopang kemajuan. Dari tesis ini muncul dugaan bahwa kemerosotan ekonomi di Amerika Latin (negara-negara yang tidak berkembang sebelum di duduki kaum penjajah) sejak abad XVI disebabkan oleh masuknya kapitalisme ke negara-negara  baru itu.”

           Selanjutnya, penulis lain menggunakan istilah daerah pusat (Center) dan daerah pinggiran (periphery), kedua istilah ini mulanya digunakan oleh Immanuel Kaller Stein. Istilah ini muncul sebagai suatu interpretasi mengenai sejarah perkembangan kapitalisme di Eropah sejak abad XV. Kemudian Arghiri Emmanuel mengembangkan konsep ini dengan menganalisis perubahan ide-ide yang ditulis oleh Marx. Selanjutnya Samir Amin memakai konsep ini, tetapi konsep ini digantikannya dengan istilah keterbelakangan dan dependensi.  Sama seperti konsep daerah pusat dan daerah pinggiran tetapi fokus perhatiannya  pada akumulasi modal dan perkembangan yang tidak seimbang pada skala dunia.

 Para penulis tersebut di atas pada pokoknya melihat pola-pola perdagangan dalam ekonomi-politik internasional. Mereka menaruh perhatian pada sirkulasi modal, perdagangan dan pengaruh sistem kapitalis dunia yang mendominasi daerah-daerah di pinggiran (periphery).

Baran sendiri menyoroti dampak akibat dari monopoli kapitalisme terhadap individu dan masyarakat. Secara khusus ia mempersoalkan ketidak-adilan dan ketidak rasionalan kapitalisme di negara-negara miskin. Dia  berkeyakinan bahwa pemikiran dari Marx  sangat cocok untuk memahami masalah tersebut. Seperti yang dikatakan oleh John O’Neill, bahwa Baran “dalam benaknya tidak meragukan relevansi Marxisme demi memahami interdependensi antara nasib individu dibawah monopoli kapitalisme dan lahirnya individualime di negara-negara yang bernaung di bawah imperialisme Barat”. (O’Neill, 1969, XXIII). Menurut Baran, pada abad XIX Marx, Lenin, Rudolf Hilferding, Rosa Luxemberg, dan pengikut-pengikut lainnya telah menuliskan kecenderungan-kecenderungan kapitalisme ini kearah perkembangan yang membuahkan stagnasi, imperialisme, dan krisis ekonomi (Baran 1960). Alasannya ialah, “bahwa pada tahap akhir sosialisme di negara-negara maju akan mengabdi pada kepentingan kemanusiaan. Karena itu, dia tidak saja mendukung suatu sosialisme rasional yang bermoral dan berbudaya Barat”, tetapi dia juga mendukung “penggunaan kekuasaan untuk membantu memecahkan semua persoalan yang berhubungan dengan kebutuhan, penyakit dan kelaparan yang melanda negara-negara miskin di dunia. “(Baran, 1960, IX).[2]

Dalam tulisannya yang lain, Baran menekankan sifat atau kodrat negara-negara yang belum berkembang. Sebagimana yang diungkapkannya; “dunia terkebelakang senantiasa mewakili daerah-daerah paripheri yang sangat diperlukan oleh kapitalisme Barat yang sudah sangat maju.” (Baran 1960,12). Negara-negara ini juga bergantung, disini Baran menyamakan kolonialisme dengan ketergantungan dalam dunia kontemporer. Alasannya, negara-negara maju sudah melalui dan mengatasi kesulitan-kesulitan sebagai akibat dari Kapitalisme dan Imperialisme.

Pandangan Baran terhadap masalah keterbelakangan dengan sendirinya mengoreksi pandangan-pandangan dari para pendukung kapitalisme sebagai jalan keluar dari keterbelakangan. Baran selanjutnya menyingkap kelemahan dan kekurangan yang terdapat dalam buku “The Stage of Economic Growth : A Non Kommunist Manifesto (1960) dari W.W. Rostow, yang berbicara tentang  pertumbuhan ekonomi yang mengikuti tahap-tahap perkembangan sejarah. Rostow berpendapat bahwa pertumbuhan ekonomi adalah merupakan suatu proses yang bertahap dan dialektis. Sebelum mencapai tahap tinggal landas dibutuhkan pencapaian swasembada. Baran mengeritik konsepsi Rostow ini dengan mengatakan:

Teori tahapan Rostow, secara historis bersifat komprehensif  namun tidak menjelaskan tentang tuntutan-tuntutan masyarakat, namun teori ini menciptakan kemunduran terhadap pertumbuhan ekonomi  dalam satu pola tunggal . . . dalam keterbatasannya teori Rostow tidak mampu  menjelaskan dan memprediksi tahap-tahap pertumbuhan . . . prinsip-prinsip utama teori Rostow hanyalah yang menyangkut petumbuhan ekonomi . . . karenanya, dia tidak mampu menerangkan tentang apapun. Jadi teori ini tidak memberi pengetahuan tambahan tentang sejarah pertumbuhan ekonomi serta tidak memperkaya pengetahuan kita tentang proses-proses perkembangan yang ada (Baran 1969, XXIII).

Selain memberikan kritik terhadap ilmu ekonomi neo-Marxist, Baran, juga mengajukan rumusan teoritis tentang keterbelakangan. Empat konsep pokok yang dia pakai dalam teorinya, yakni : “underconsumption, economic surplus, backwardness dan monopoly capital”. Walaupun Baran lewat banyak tulisannya melancarkan kritik mengenai “underconsumption, namun ia tetap menganggap konsep underconsumption” sebagai konsep penting dalam rangka memahami sistem kapitalis.[3]  Dia juga menganjurkan supaya konsep ini dijernihkan dari konotasi negatif. Dia berpendapat bahwa,  penelitian perlu dilakukan dalam situasi seperti adanya kenaikan investasi dan permintaan yang tidak seimbang dengan penyediaan  sumber-sumber produksi. Seperti yang dia katakan:

“karena perkembangan zaman maka terjadilah  produktivitas yang menghasilkan produksi dan surplus ekonomi. Akibatnya, “surplus ekonomi secara berkelanjutan cenderung dikembalikan lagi untuk memantapkan perkembangan sejumlah besar perusahaan-perusahaan kapitalis raksasa. Menurut Baran “hasil-hasil perkembangan ini merupakan suatu pertumbuhan ke arah pemborosan dalam  sektor-sektor dan sistem yang tidak produktif” (Baran 1969, 192).

Pemahaman tersebut memberi kejelasan tentang apa yang dimaksud oleh Baran tentang Surplus Ekonomi. Menurut dia, ada tiga jenis arti surplus ekonomi;[4] Pertama, surplus ekonomi aktual, yakni perbedaan antara pendapatan masyarakat dan konsumsi aktual dewasa ini. Baran mengemukakan bahwa tipe surplus ini sama dengan penghematan atau akumulasi modal seperti yang diberikan melalui fasilitas-fasilitas produktif, alat-alat temuan baru, dan sebagainya. Surplus ekonomi aktual membentuk saham pendapatan total yang lebih sedikit daripada surplus nilai dari Marx. Surplus ekonomi aktual  “adalah sebagian dari surplus nilai yang diakumulasi, tetapi tidak termasuk konsumsi kelas kapitalis, biaya administrasi pemerintahan, pengembangan militer dan hal-hal lain yang berhubungan dengan itu. Kedua, surplus ekonomi potensial, yakni perbedaan antara hasil produksi yang bisa diproduksi dalam suatu lingkungan alamiah, teknologi yang diberikan untuk membantu  sumber-sumber produktif  yang dapat dikelolah, serta apa yang dipandang sebagai konsumsi hakiki. “Baran membedakan surplus ekonomi potensial yang mengesampingkan unsur-unsur surplus yang disebut diatas tadi, konsumsi hakiki dari para kapitalis, apa yang dapat dianggap pembiayaan administrasi negara, pembiayaan pembangunan militer dan lain-lain yang semacam dengan itu. Dilain pihak, surplus ekonomi potensial mencakup apa yang tidak dicakup oleh konsep surplus nilai hasil produksi karena salah dalam pengolahan sumber-sumber produksi. Realisasi surplus ekonomi potensial dihasilkan melalui suatu reorganisasi produksi dan konsumsi dari pendapatan sosial demi menghadapi empat bidang berikut ini : (1) ekses-ekses konsumsi dari kalangan yang berpendapatan tinggi, (2) kerugian produksi yang disebabkan oleh para pekerja yang tidak produktif, (3) kerugian produksi karena salah pengaturan alat produksi, dan (4) kerugian karena salah pengelolaan. Ketiga, dia mendefinisikan surplus ekonomi yang terencana sebagai perbedaan antara produksi optimal masyarakat dalam suatu lingkungan alam dan teknologi yang diberikan secara historis dibawah kondisi-kondisi penggunaan “optimal” terencana dari semua sumber-sumber produktif yang ada dan volume konsumsi “optimal” yang terpilih. Surplus ekonomi yang direncanakan didasarkannya bukan pada tekanan tatanan kapitalis, melainkan pada perencanaan rasional suatu masyarakat sosialis. Penggunaan surplus ekonomi ini kemudian menuntun Paul Baran kearah penelitian tentang masalah-masalah keterbelakangan. “Bagi Baran pentinglah di mengerti “hukum-hukum gerak dari bagian-bagian dunia kapitalis yang terkebelakang atau miskin, supaya  perkembangan yang sudah dicapai negara-negara kapitalis Barat yang maju, dipahami sebagai suatu kekejaman, karena telah menghambat perkembangan negara-negara yang lemah “(Baran 1960, 162).

Dalam satu tulisannya tentang Amerika dan monopoli kapitalisme dewasa ini, Baran dan Paul Sweezy berpendapat; walaupun Lenin telah mengembangkan teori dari Marx dengan menaruh tekanan khusus pada masalah imperialisme seperti pada monopoli kapitalisme, namun usaha mereka untuk menganalisa monopoli dalam konteks hukum-hukum gerak ekonomi kapitalis belum dibahas. Baik Marx maupun Engels belum secara lengkap memasukkan masalah monopoli dalam teori ekonomi aliran Marx. Baran dan Sweezy mencoba menelusuri masalah monopoli ini dengan mempelajari penyerapan surplus ekonomi yang mereka rumuskan sebagai perbedaan antara apa yang diproduksi oleh masyarakat serta biaya-biaya produksinya “(Baran and Sweezy 1966, 9).[5]

Penelitian mereka selanjutnya, terpusat pada perusahaan-perusahaan raksasa, dimana mereka mengamati kekuatan riil manajemen perusahaan serta “orang-orang yang mencurahkan semua waktu mereka untuk kepentingan perusahaan” (Baran dan Sweezy 1966, 16). Mereka beranggapan, bahwa manajemen adalah suatu entitas yang dapat menghidupi dirinya sendiri, tiap generasi manajer mengorbitkan dan melatih pengganti-pengganti mereka. Baran dan Sweezy juga menemukan bahwa tiap-tiap perusahaan mencari independensi finansial melalui modal generasiya, sehingga tidak perlu menggunakan modal dari Bank untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan mereka. Baran dan Sweezy menekankan perhatian mereka pada modal perusahaan daripada modal dari Bank. Mereka juga membedakan analisa mereka dari analisa Lenin. Ringkasan pendirian mereka  dapat dikemukakan seperti ini:

“Bisnis merupakan suatu sistem seleksi yang mengajarkan kriteria yang dapat dipahami dengan baik. Prinsip utamanya adalah bagaimana bimbingan dilakukan untuk mencapai sasaran utama perusahaan. Karena itu dibutuhkan keuntungan maksimal untuk mempertinggi kekuatan dan kecepatan pertumbuhan . . . kapitalis riil dewasa ini bukanlah penguasa idividual melainkan perusahaan berbadan hukum” (Baran dan Sweezy 1966, 42-43).

Baran dan Sweezy, juga mengusulkan suatu perubahan tatanan sebagai bentuk perlawanan umum terhadap sistem dunia kapitalis dan perjuangan untuk meletakkan suatu dasar sosialis. Kemenangan Cina, Algeria, Cuba, Vietnam dan Korea adalah contoh-contoh tentang bagaimana “kaum reformis” mencoba memecahkan masalah-masalah yang mereka hadapi dalam sistem dunia kapitalis. Sebab, Amerika Serikat menolak komitmen tambahan tentang  perkembangan dan revolusi dunia. “Sandiwara dari masa kita sekarang ini adalah revolusi dunia dan tak akan pernah berakhir sampai ia mencakup seluruh dunia”. (Baran dan Sweezy 1966, 367).

Tentang hal tersebut, Baran berhasil membuktikannya melalui suatu penelitian yang dilakukannya di Cuba. Kemudian, dia kembangkan dalam edisi tulisannya tentang dalil-dalil; Pertama, revolusi itu tidak mengikuti skema yang sudah dipertimbangkan lebih dahulu. Para cendekiawan dan tokoh-tokoh pembaruan berkembang secara spontan dan dengan cara yang terpisah-pisah. Hasilnya kemudian mengarah pada situasi khusus di Cuba, dan mendukung kepiawian Fidel Castro.[6]  Kedua, revolusi itu bukan semata-mata revolusi politik, melainkan revolusi sosial yang secara mendalam mengubah struktur sosial ekonomi suatu negara, relasi-relasi ekonomi dan pemikiran atas sarana-sarana produksi. Ketiga, revolusi itu terjadi bukan dikarenakan oleh kaum cendekiawan muda, melainkan oleh penduduk pedesaan yang terdesak karena situasi kemelaratan, pemerasan dan keterbelakangan yang tak tertahankan yang disebabkan oleh aturan-aturan lama. Keberhasilan mereka dalam revolusi, lebih banyak ditentukan oleh struktur ekonomi, sosial dan ideologi (Baran 1969, 395).

“Baran selanjutnya membantah jika  pertanian Cuba pada awalnya hanya embel-embel dari monopoli Ibu Kota (kapital), kemudian tidak berkembang menjadi sistem feodal, walaupun cara mengerjakannya lebih manusiawi, karena dikerjakan dengan upah yang cukup” (Baran 1969, 397).

Baran kemudian memandang pada revolusi itu sendiri dan menawarkan penelitian lanjut mengenai keunikan-keunikan reformasi di Cuba itu. Alasannya, “gula berkembang subur, potensi surplus ekonomi di Cuba secara subtansial terdapat di daerah yang memiliki tanah luas yang tidak digarap, tetapi ditempatkan pada sentra produksi dengan investasi moderat. Lebih dari itu, Cuba di lihatnya dapat mencukupi dirinya sendiri, tidak seperti daerah-daerah lain yang mengalami revolusi sosial karena kekurangan makanan. Kenyataan ini memberi dorongan bahwa perusahaan industri dapat dibangun; “dalam waktu singkat hal itu secara radikal dapat menambah dan terbedakan dari hasil pertanian ... kemudian mencukupi dirinya sendiri dengan menaruh hormat kepada makanan“ (Baran 1969, 411). Secara optimistik ia menyimpulkan bahwa Cuba membawa banyak perubahan yang mendalam. Transisi dari sistem kapitalisme ke sistem sosialisme telah memperkecil kekerasan, kemudian menciptakan suatu lingkungan kebebasan berpartisipasi bagi masyarakat secara baik. (Baran 1969, 412).

Pada waktu yang sama ia memperingatkan Amerika sehubungan dengan tindakan-tindakannya di Cuba yang dianggapnya dapat mengancam kehancuran dunia. Bagi Paul Baran, “persoalannya bukanlah kapitalisme atau sosialisme tetapi kelangsungan hidup atau kehancuran dunia “(Baran 1969, 436). Tulisan-tulisan Baran merangsang pemikiran sekitar gagasan bahwa kapitalisme menghambat daerah-daerah pinggiran di dunia untuk berkembang tidak mungkin berdiri sendiri. Andre Gunder Frank dan Samir Amin adalah dua dari sejumlah penulis yang menguraikan tesis yang proaktif ini. Tetapi, biarpun ide-ide  mereka diterima oleh sejumlah kelompok akademis di universitas di Amerika Serikat, kenyataannya masih banyak kelompok pemikir yang tidak menerima ide-ide ini.

Catatan:
[1] Riwayat hidup dan pemikiran Paul Baran dapat dilihat dalam Sweezy dan Huberman (1965) yang dipublikasikan pada bulan Maret 1965, diambil dari Monthly Review; Paul M. Sweezy’s “Paul Alexander Baran: Kenangan Pribadi, hal.28-62.
[2] Lihat juga Baran “On the Nature of Marxism” hal.19-42 dalam Baran (1969); Artikel ini mulanya dipublikasikan dalam dua Artikel, bulan Oktober dan November 1958, dalam Monthly Review.
[3] Pandangan Baran terhadap Teori Underconsumtion, lihat “Reflections on Underconsumtion” hal.185-202 dalam Baran (1969).
[4] Baran onsep Surplus Ekonomi” Bab,2,hal.22-43, dalam Baran (1960) dikutip dari hal.23-41.
[5] Baran “On the Ropots of Backwardness” Bab,5 hal.134-162, dalam Baran (1960) dikutip dari hal.134.
[6] Dalam suatu apendix “Perkiraan terhadap Surplus Ekonomi”, hal. 364-391.

RUJUKAN
Baran, Paul A., 1960,  The Political Economy of Growth. New York: Prometheus.
----------------., 1969, The Longer View: Essays Toward a Critique of Political Economy. New York: Monthly Review Press.  
Baran, Paul A., and Paul M. Sweezy., 1966, Monopoly Capital: An Essay on the American Economic and Social Order. New York: Monthly Review Press.
Booth, David., 1975, “Andre Gunder Frank: An Introduction and Appreciation. Pp.50-85 in Ivar Oxaal, Tony Barnett, and  David Booth, eds., Beyond the Sociology of Development. London: Routledge  end  Kegan Paul.
Brewer, Anthony., 1980, Marxist Theories of Imperialism. London: Routled  and  Kegan Paul. Includes, among others, chapters on Amin, pp.233-257,  Baran, pp. 131-157, and  Frank, Wallerstein, and the Dependency “theorists”, pp. 158-181.
Cypher, James., 1977, “The Third Historical Epoch of the Capitalist Mode of Production.” Insurgent Sociologist 7 (fall), 74-82.
------------------., 1979, “The Internationalization of Capital and the Transformation of Social Formationas: A Critique of the Monthly Review School”. Review of the Political Economics 11, 33-49.
Foster-Carter, Aiden., 1976, “From Rostow to Gunder Frank: Conflicting Paradigms in the Analysis of Underdevelopment”. World Development 4 (March), 167-180.
-----------------., 1977, “The Modes of Production Controversy”. New Left Review, 107 (January-February), 47-77.
Frank, Andre Gunder., 1966, Capitalism and Underdevelopment in Latin America: Historical Studies of Chile and Brazil. New York: Mothly Review Press.     
----------------., 1969,  Latin America-Underdevelopment or Revolution: Essays on the Development of Underdevelopment and the Immediate Enemy. New York: Monthly Review Press.
  ----------------., 1975a, “Development and Underdevelopment in the New World: Smith and Marx vs the Weberians”. Theory and Society 2, 431-466.
----------------., 1977a, “Dependence is Dead, Long Live Dependence and the Class Struggle: An Answer to Critics,” World Development 5, 355-370.
----------------., 1977b, “Long Live Transideological Enterprise: The Socialist Economies in the Capitalist International Division of Labor”. Review 1, 91-140.
  ----------------.,1978a, Dependent Accumulation and Underdevelopment. London: MaCmillan. New York: Mothly Review Press, 1979.
----------------., 1977, Mexican Agriculture, 1521-1630: Transformation of the Mode of Production. Cambridge University Press.
----------------., 1981a,    Crisis in the Third World. New York: Holmes and Meiyer.
----------------., 1981b, Crisis: In the World Economy, London: Heinemann.
----------------.,1981c, Reflections on the World Crisis. New York: Mothly Review Press.
Gerstein, Ira., 1976, “Theories of the World Economy and Imperialism”. Insurgent Sociologist 7, 9-22.
Ovgaard, Morten., 1982, “Some Remarcks Concerning Peripheral Capitalism and the Peripheral   State. Science and Society 46, 385-404.
Petras, James., 1966, “The Roots of Underdevelopment”. Monthly Review 9, 4 – 55.
-----------------., 1977, “Dependency and World System Theory: A Critique and New Directions”. Latin American Perspectives 7, 148-155.
Sau, Ranjit., 1975,  “Capitalism, Imperialism, and Underdevelopment”. Economic and Political Weekly. 33-35: 1263-1276.