Potensi Revolusioner dalam Dinamika Politik
Rezim SBY: Berkaca dari Timur-Tengah
Oleh Roy Erickson Mamengko
Roy Erickson Mamengko |
I
Memenuhi permintaan “Forum Intelektual Kristen
Indonesia (FIKI) Jakarta, untuk menjadi salah seorang Pembicara dalam Diskusi
bertema: “Potensi Revolusioner dalam Dinamika Politik Indonesia
Kontemporer: Berkaca dari Timur-Tengah, yang digelar hari ini, bagi saya, bukanlah
pekerjaan sederhana. Sebab, tema yang disodorkan ini, dari perspektif
“akademik” memerlukan penggarapan dan pendalaman, juga waktu, guna mengurai
makna yang sesuai dengan isi thema. Ini dimaksudkan, supaya paparan dan
predisksi atasnya mendekati realitas yang teramati. Sekaligus menyempitkan
potensi berbantahan pada sesi diskusi.
Itulah yang menjadi pertimbangan saya, sehingga topik
ini saya putuskan untuk didekati dari perspektif teoritik. Kemudian
mengaitkannya dengan realitas sosial politik Indonesia kontemporer yang
teramati. Judul yang disodorkan kepada saya mengalami sedikit perubahan. Saya
memangkas judulnya supaya isi yang dibicarakan terforkus dan tidak historik.
II
Masyarakat, pasti akan mengalami perubahan. Inilah
kepastian hukum dalam kehidupan manusia. Hanya tempo, intensitas dan besaran (magnitude)
perubahan pada setiap masyarakat dalam sebuah negara itu yang bebeda-beda. Ada
masyarakat yang mengalami perubahan secara perlahan-lahan, ada pula yang tidak.
Sebaliknya, ada perubahan yang berlangsung dalam waktu yang sangat
singkat, karena basis-basis kehidupan sosial dan politik masyarakatnya
dilakukan dengan cara yang radikal. Yakni, menjungkir balikkan seluruh tatanan
sosial dan politik yang dipunyai, kemudian menggantikannya dengan tatanan yang
sama sekali baru”.
Disamping itu, ada perubahan yang terjadi secara
lambat. Yakni, perubahan evolusioner. Dimana, agen perubahan (agent of
change) melakukannya dengan cara bertahap atau gradual.
Ada juga perubahan radikal-revolusioner[1]. Dimana,
akar-akar tatanan lama masyarakat dihancurkan melalui konflik yang keras dan
terbuka. Masalah ini telah banyak diteliti. Walaupun di antara para peneliti
itu, ada yang sekedar mendeskripsikan kejadian perubahan tertentu. Ada yang
melakukan eksplanasi atas keruwetan persoalan, sampai pada yang menelusuri
sebab-akibat (kausalitas) atas duduk persoalan dengan menggunakan pendekatan
teoritik tertentu untuk tujuan akomodasi maupun praksis.
Singkat kata, dalam kesempatan ini, saya ingin fokus
pada perubahan sosial yang Revolusioner dan akibat-akibatnya dengan
memanfaatkan medium teoritik.
III
Dalam pandangan saya, Revolusi sosial yamg sekarang
ini merebak di kawasan (Timur-Tengah), dimana pengaruhnya tampak mulai
menghantui beberapa negara yang menerapkan sistem politik ketat dan terpusat, dinamika
politiknya cocok didekati dari perspektif struktural. Berfokus pada konteks
sosial, politik dan ekonomi dalam negeri dan kaitannya dengan situasi
Internasional yang memengaruhi aktor maupun organisasi-organisasi sosial rezim
lama (seperti beberapa negara di Timur-Tengah sekarang) dan pembentukan negara
demokrasi baru, seperti juga di Indonesia.
Pada umumnya, studi perubahan sosial, politik dan
ekonomi, berfokus pada kondisi objektif yang terbentuk dari proses-proses
sosial yang dis-asosiatif dalam negeri yang menimbulkan
krisis revolusioner. Dengan tidak mengabaikan konteks internasional, sebagai
faktor pemberi pengaruh. Konteks internasional “dapat dianggap” turut
memberi pengaruh atas timbulnya semua krisis sosial-revolusioner dengan segala
akibat yang mengikutinya. Semua faktor penyebab timbulnya sebuah revolusi, baik
yang bersifat sosial maupun politik, dalam kenyataannya, selalu terkait erat
dengan penyebaran ekonomi kapitalis internasional yang tidak “berimbang” dan
pembentukan negara-negara berskala dunia.
Dalam konteks pembagian kerja internasional yang
timpang, revolusi sosial cenderung terjadi di negara-negara yang posisinya
dalam arena internasional dipandang “lemah”. Ketergantungan politik, juga ikut
serta membantu melemahkan otoritas politik dan pengawasan dalam negeri. Kondisi
negara yang seperti ini, menjadi sangat rentan dari konflik dan pengendalian
terhadap transformasi struktural yang dilakukan negara.
Theda Skocpol[2] dalam penelitiannya menunjukkan,
bahwa terjadinya revolusi di Perancis (1787-1800), revolusi di Rusia
pertengahan 1917 dan revolusi di Cina tahun 1911-1916, lebih disebabkan karena
posisi ketiga negara tersebut lemah dalam menghadapi tekanan internasional.
Begitu pula cara ketiga negara itu mengelola dinamika
sosial-politik internal negara mereka yang agraris. Pengelolaan negara
dilakukan dengan cara yang sangat represif. Akibatnya, ketika masyarakat
(mayoritas petani) tak sanggup lagi menerima tekanan dan eksploitasi negara,
masyarakat bangkit melakukan perlawanan dan pemberontakan. Perlawanan kaum
marginal dan yang termarginalkan acapkali dilakukan bersamaan dengan datangnya
dukungan dan tekanan Internasional ke dalam negeri negara bersangkutan. Tekanan
internasional ini dimaksudkan untuk membuka jalan bagi para elit politik marginal[3]
supaya leluasa mendukung gerakan populis masyarakat perkotaan dan konsolidasi
gerakan massa.
Untuk diketahui, perubahan di Inggris,
Jerman, dan Jepang tidak melalui jalan revolusi sosial, tetapi
melalui perubahan evolusioner yang bersifat restorasi. Mengapa?,
karena ketiga negara tersebut, mampu mengeliminasi ancaman dan tekanan
internasional. Juga, mampu meredam tidak terjadinya pemberontakan petani secara
luas. Negara-negara ini tetap dominan mengendalikan bentuk perubahan bangsanya
kearah yang lebih mulus.
Berbeda dengan kasus yang muncul di Perancis tahun
1787-1800. Rusia tahun 1917-1921. Dan, di Cina antara tahun 1911-1949. Revolusi
di ketiga negara ini, muncul karena memudarnya kontrol negara atas
hubungan-hubungan kelas[4] dalam masyarakat. Sedangkan reformasi di Inggris,
Jerman, dan Jepang, dimungkinkan oleh karena kedudukan negara yang tetap stabil
mengendalikan hubungan-hubungan kelas dalam masyarakat mereka.
IV
Beranjak dari pengalaman negara-negara tersebut, Indonesia
kontemporer di bawah pemerintahan SBY, secara teoritik, dinilai masih
terlilit dan sukar keluar dari beberapa persoalan kenegaraan warisan rezim
sebelumnya.
Rezim SBY, tampak masih memanfaatkan sistem politik
“monolitik” yang bertentangan dengan ciri heterogenitas negara. Heterogenitas
diendapkan di bawah hasrat penyeragaman yang bertujuan “memusatkan kekuasaan”
untuk memelihara satus quo pemerintah. Contoh dan indikator atas hal ini dapat
ditelisik dalam beberapa kasus. Antara lain SKB tiga menteri, kasus Ahmadiayah,
dan penetapan pansus pajak di DPR RI.
Dibidang penegakkan Hukum. Rezim SBY tampak masih
memonopoli interpretasi atas hukum dan perundang-undangan yang berlaku. Sering
didapati, penetapan hukuman yang berbeda atas kasus-kasus korupsi serupa
berskala besar.
Begitu pula dibidang birokrasi pemerintahan. Sifat
alamiah birokrasi yang otoriter yang mengeksploitasi konsep hubungan negara dan
rakyat secara timpang, belum memudar. Malah dirasakan kian menguat. Terkesan,
birokrasi lebih sigap melayani kebutuhan rezim politik dari pada melayani
kebutuhan rakyat.
Klientalisme ekonomi melalui praktek kolusi antara
pemerintah dan pihak pengusaha tampak menguat. Sumberdaya politik dan ekonomi
rakyat tetap dikontrol oleh sekelompok orang yang dekat dengan penguasa.
Negara, sampai saat ini, terkesan masih menggunakan
sarana otoriter yang eksesif dengan tujuan memunculkan ketakutan politik
rakyat. Simbol-simbol “kebudayan” dimanipulasi, agar supaya rakyat dari
akar rumput memandang penguasalah yang paling arif, bersih dan sempurna. Tidak
perlu dikontrol oleh kekuatan demokratis. Pemusatan kekuasaan yang dilakukan
secara intensif dan eksesif, nyaris menjadikan peribadi penguasa identik dengan
hukum.
Persoalan-persoalan tersebut, secara bertalian erat
satu dengan yang lainnya, dan memunculkan kekusutan persoalan kenegaraan
seperti yang dirasakan saat ini.
V
Antisipasi supaya Indonesia kontemporer di bawah rezim
SBY tidak terhalang menjalankan “tugas” perubahan secara bertahap (gradual), dan
tidak menjadi pemicu munculnya “revolusi sosial” dari rakyat aras
“tengah” dan “bawah”, karena kehilangan harap (hope) untuk
menggapai angan kesejahteraan, keadilan dan kemerdekaan mereka, maka perlu di
tempuh jalan baru untuk perubahan.
Pertama, melakukan percepatan dalam
penegakan hukum ( law enforcement). Selain menjamin hak warga
negara ikut menentukan “warna” kehidupan sosial-politik yang baru, rezim SBY
perlu memastikan, bahwa setiap warga negara mematuhi aturan yang berlaku.
Aturan yang telah disepakati bersama. Supaya hak orang lain tidak terganggu oleh
ekspresi penggunaan hak yang sama dari komunitas warga negara lainnya.
Kedua, rezim SBY perlu segera memberikan kejelasan,
apa kepentingan nasional (national interest) yang ingin
dicapai. Ini dimaksudkan, supaya rakyat Indonesia tetap berpola pada
rumusan kepentingan nasional. Berinisiatif mendukung langkah-langkah pembaruan,
tanpa melepaskan diri dari keseluruhan konteks gerakan dan arah perubahan (reformasi) nasional.
Ketiga, transparency. Mekanisme
politik harus terbuka. Alasan-alasan mengapa sebuah alternatif dipilih oleh
pemerintah untuk dijalankan dalam mengatasi persoalan publik, perlu diumumkan.
Supaya, rakyat menyadari apa yang dapat diterima dan didukung dan apa yang
perlu ditolak. Dan, dari sisi mana dapat berpartisipasi memberi dukungan terhadap
perubahan yang sedang dijalankan pemerintah.
Keempat, mutual trust. Rezim SBY
perlu segera membangun situasi “saling percaya” antara rakyat dan pemerintah.
Hal ini dimaksudkan, supaya setiap inisiatif dan keputusan yang diambil
pemerintah dirasakan sejalan dengan arah yang dikehendaki bersama.
Kelima, rasionality. Adanya keharusan dari
seluruh agen perubahan untuk lebih mengutamakan akal sehat daripada perasaan
dalam bertindak.
Dengan menjalankan hal-hal tersebut di atas, diyakini,
rezim SBY yang menerima otoritas kekuasaan dari publik melalui Pemilihan Umum dalam
mengolah dan mengendalikan seluruh struktur kelas dalam masyarakat Indonesia, dapat
memulihkan kepercayaan publik atas peran kekuasaannya. Menempuh jalan ini, dimaksudkan
supaya terhindar dari “potensi
revolusioner” yang berakar dari kelas masyarakat menengah ke bawah yang tampak
kian hari kian terkonsolidasi. Dengan demikian, SBY dapat mengahiri masa
jabatan dengan baik sampai pada pemilihan umum tahun 2014.
Catatatan
kaki
[1] Lihat, H.A. Landsberger dan Y.G. Alexandrov., Pergolakan
Petani dan Perubahan Sosial., JIIS. Jakarta, 1984.
[2] Lihat, Theda Skocpol, Negara dan Revolusi
Sosial: Suatu Analisis Komparatif Tentang Prancis,Rusia dan Cina., Erlangga,
Jakarta., 1991.
[3] Tentang konsep ini, lihat, Barrington Moore, JR,
Social Origins of Dictatorship and Democracy, Penguin Boks, USA, 1991.
[4] Lihat, Anthony Giddens., The Class
Structure of the Advanced Societies, Cambridge, 1987.